March 08, 2012

*Cerpen- PEMILIK HATIMU


            Dia yang membuatnya begini. Ya, hanya dia yang mampu membuatnya sungguh tergila-gila padanya. Dia yang selalu memberikan senyuman indahnya di tiap sudut lapangan futsal sekolah tersebut. Setiap permainannya, saat dia mencetak gol-gol cantik, ia selalu mengangkat kedua tangannya dengan jari tangannya yang seperti menggenggam batu. Dengan senyumannya yang paling manis ia berlari keliling lapangan futsal tersebut. Matanya bersinar cerah. Wajahnya anggun walaupun disertai bintik-bintik air yang menetes di keningnya. Namun hal tersebut yang justru membuatnya terkagum-kagum pada dia. Ya! Dia seorang pemain futsal di sekolahnya. Terkenal sangat cuek dan sikapnya yang sangat dingin terhadap wanita. Mungkin hanya 10% peluangnya untuk bisa dekat dengan DIA.
*****

            Gadis ini masih saja memikirkannya. Ya! Pemain futsal itu. Hanya dia yang selalu terpikirkan olehnya. Tapi sepertinya, tidak sebaliknya. Pemain futsal yang akrab di sapa ”Vidi” itu sangat cuek. Sikapnya yang begitu dingin terhadap wanita. Hmm. Bisa terjawab semuanya. Vidi sangat cuek, dan itu artinya, ia tidak tahu menahu dan tidak ingin tahu apa yang sedang dirasakan oleh Putri saat ini. Ya! Gadis itu adalah PUTRI.
*****


            Putri masih saja memandangi layar ponselnya. Berharap seseorang mengirimkan pesan untuknya malam itu. Lebih tepatnya, Vidi! Ya, Putri hanya bisa berangan-angan kalau Vidi akan mengirimkan pesan singkat untuknya. Tetapi, sekali lagi, itu hanyalah angan-angannya. Ia tak akan pernah bisa mendapati hal tersebut. Suatu hal yang memang benar sangat ia harapkan. Tetapi ia tahu, tak mungkin hal itu terjadi.
            ”1 new message”
            Tulisan berbahasa asing tersebut tiba-tiba terpampang di layar ponsel hitam metalik milik Putri. Pertanda sebuah pesan singkat yang akrab di sapa SMS masuk ke ponsel Putri. Wajahnya yang sedari tadi hanya lesu, pucat, serta penuh harap seketika itu menjadi gemilang. Senyumnya begitu ikhlas. Segera di raihnya ponsel hitam metalik tersebut. Dengan semangat yang berapi-api, ia menekan beberapa tombol keypad ponselnya. Namun, raut muka gemilang yang baru saja hadir dalam diri Putri menjadi lenyap. Layaknya semut yang di terpa angin topan. Ia mengerutkan alisnya. Wajahnya kembali murung.
            ”Ah seharusnya aku tak perlu histeris melihat pesan ini. Dan harusnya aku tadi tak berharap bahwa pengirim pesan ini adalah Vidi. Karena jelas itu tidak mungkin!”
            Putri memutar bola matanya, menandakan rasa kekecewaannya. Dilemparnya ponsel tersebut ke ranjang tempat ia tidur tiap harinya. Tatapannya kosong. Pandangannya lurus ke depan. Tepat pada langit di luar jendela kamarnya. Tak terasa, sebutir air menetes malu di pipinya. Ia tersadar, dan segera menghapusnya. Pikirannya masih saja belum tenang. Segera ia beranjak dari tempatnya, kemudian mulai menutup satu persatu jendela kamarnya yang masih terbuka. Dengan malas, ia membantingkan tubuhnya di ranjangnya, dan mulai memejamkan matanya. Entahlah, apakah ia benar-benar sudah terlelap malam itu.
*****
            ”Kenapa Put? Seneng banget kayaknya?” tanya Rissa yang tengah heran menyaksikan tingkah sahabatnya.
            ”Tuh lihat di lapangan. Ada Vidi lagi main bola!” jawab Putri kegirangan.
            ”Mana sih? Oh itu. Yang lengan bajunya satu warna putih, satu warna hitam ya? Aneh tuh anak. Masa’ pakai baju gak bener gitu.” ucap Rissa.
            ”Yang warna hitam itu kaos dalaman-nya Vidi. Yang putih itu seragam Ris. Biasalah anak futsal emang sukanya lengan seragam yang sebelah kiri di naikkan sampai ke bahu. Jadi kelihatan kaosnya deh.” jelas Putri sambil tersenyum speechless ke arah Vidi.
            ”Anak aneh bin cuek bin nyebelin bin ngeselin kayak gitu kok bisa sih kamu naksir? Apa spesialnya dari dia coba?” tanya Rissa melengos.
            ”Senyumannya itu loh bikin aku speechless banget! Apalagi kalau dia lagi main bola, gak bisa beralih pandangan deh jadinya. Pengennya lihat senyum manisnya dia terus.” terang Putri menekankan kata-katanya.
            ”Tapi tetap saja, dia itu CUEK!” lanjut Rissa kemudian mengalihkan pandangannya ke arah ruang kelas IX-A.
            ”Sengaja ya? Alih pandangan ke kelas IX-A? Biar bisa ngelihatin si Rozi. Hahahaha. Selera kita itu beda Ris. Aku naksirnya sama Vidi, bukan Rozi.” jawab Putri dengan nada mengejek.
            ”Ah kamu. Tetap saja, Vidi itu cuek! Gak kayak Rozi, baik hati, ramah, dan tidak sombong. Oh iya satu lagi, Rozi itu anaknya gak cuek!!” ujar Rissa balas mengejek Putri.
*****

            Memang sangat sulit dekat dengan anak yang bisa di bilang sangat cuek. Jangankan dekat, menjadi temannya saja mungkin peluangnya hanya 10%. Ya! Itulah Vidi. Sikapnya yang sangat cuek membuat Putri resah. Rasanya, hanya sebatas impian bagi Putri agar bisa menjadi temannya. Dari awal Putri bertemu dengan Vidi, hanya rasa terkagum-kagum yang bisa menjelaskan perasaannya pada Vidi. Putri tak tahu dari bagian manakah ia melihat sosok seorang Vidi. Sampai-sampai ia benar-benar tergila-gila pada Vidi. Mungkin karena senyum mautnya yang selalu membuat Putri speechless jika menatap Vidi. Namun sekali lagi, Vidi adalah anak yang sangat cuek. Sikapnya sangat dingin terhadap wanita. Mungkin hanya sebatas harapan Putri bisa menjadi temannya.
            Putri, gadis yang masih berusia 13 tahun ini tetapi ia bisa berpikir dewasa. Jika di bandingkan dengan teman-teman sekelasnya, Putri adalah anak yang usianya paling muda. Namun, Putri mampu menunjukkan pada teman-temannya, bahwa ia bukan anak kecil. Walaupun usianya yang bisa di bilang cukup muda untuk anak yang duduk di bangku kelas IX SMP. Ia mampu membuat teman-temannya tersenyum. Ia mampu memberi solusi dalam berbagai permasalahan yang dialami oleh sahabat-sahabatnya. Namun satu hal yang ia tidak mampu, menahlukkan hati Vidi. Merubah sikapnya yang dingin serta cuek terhadap wanita. Jika Putri mampu melakukannya, semua orang akan berkata ”HEBAT” padanya.
*****

            ”Kamu jangan diam saja dong. Temui dia ke kelasnya! Bilang ke dia kalau kamu pengen kenalan sama dia, dan pengen jadi temannya! Gitu dong Put!” jelas Zevana, yang juga salah satu dari sekian banyak sahabat Putri.
            ”Kalau kayak gitu, dikira aku yang agresif dong? Enggak ah, aku malu Ze.” jawab Putri murung.
            ”Tahun 2011 gak jaman lagi yang namanya cowok nembak cewek. Ya kamu gak perlu nembak dia, cuma bilang aja ke dia kalau kamu pengen jadi temannya. Cewek juga boleh dong bilang duluan ke cowok tanpa harus si cowok duluan yang bilang? Kalau kamu nunggu Vidi yang bilang duluan, tunggu aja deh sampai Amerika pindah di samping Surabaya. Kelamaan nunggu Vidi bilang duluan Put. Kalau bukan kamu yang mulai, jangan harap kamu bisa berteman sama Vidi.” jelas Zevana yang begitu ikut merasakan apa yang tengah dirasakan oleh sahabatnya itu.
            ”Iya aku tau Ze. Tapi kenapa setiap aku ketemu Vidi, semua yang ada di pikiranku blank! Dan aku gak tau mesti ngapain, rasanya pengen ngundurin niatku Ze.” respon Putri sangat resah.
            ”Sahabat, aku sayang kamu. Jangan sedih gitu dong. Vidi itu anaknya cuek banget. Susah buat bisa dekat sama dia. Apalagi kalian gak saling kenal. Kalau bukan kamu yang nyerang, kamu cuma bisa jadi secret admirer-nya Vidi SELAMANYA.” ujar Zevana sambil menggerak-gerakkan tangannya seakan ikut berekspresi.
            ”Tau ah! Cuek banget tuh anak! Pasrah aku Ze.” ucap Putri memelas.
            ”Jalanin saranku, atau kamu cuma bisa sebatas secret admirer-nya Put.” kalimat terakhir yang sempat di dengar Putri, sebelum akhirnya Zevana beranjak dari tempatnya.
*****

            Jantungnya berdegup dengan kencang. Telapak tangannya sedingin es. Disentuhnya pipinya dengan kedua telapak tangannya. Terasa sangat dingin sekali, membuatnya terus menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Diambilnya nafas dalam-dalam, kemudian ia buang secara perlahan. Detaknya semakin terasa. Semakin kuat. Ya! Tentu saja, ia merasakan hal tersebut. Dihadapannya, sedang berdiri seorang anak laki-laki dengan seragam batik berwarna hijau dan tas ransel hitamnya yang tergantung di punggungnya. Sambil berdiri, anak laki-laki itu terus menekan-nekan keypad ponselnya. Sambil sesekali menendang bola yang datang menghampirinya.
            ”Buruan Put!! Mumpung dia lagi di lapangan! Temui dia sekarang!” perintah Anggra sambil mendorong pelan bahu Putri.
            ”Aku gak ada nyali Nggra. Aku takut dicuekin. Anak itu terlalu cuek.” jelas Putri yang masih saja nervous dengan dirinya sendiri.
            ”Hei Put! Katanya mau jadi temannya Vidi, temui dia sekarang! Atau aku sama Anggra yang bakal bilang ke Vidi?” tawar seorang temannya yang berdiri di samping Anggra.
            ”Jangan Ze! Itu bisa bikin dia malu, dan kalian nanti pasti bakal dicuekin. Kalau kalian kesana, belum tentu kalian di respon sama Vidi.” jelas Putri lesu.
            ”Kita coba aja dulu. Siapa tau di respon? Ayolah Put, gak ada salahnya kan kamu temui dia sekarang? Katanya mau kenal sama dia?” ucap Zevana.
            ”Tapi...”
            ”Put, kalau kamu takut nyamperin dia, sekarang juga kamu SMS dia. Mumpung dia lagi pegang HP tuh!” saran Anggra pada Putri.
            ”Tapi, apa mungkin di bales?” tanya Putri gugup.
            ”Siapa tau di bales? Kan dia lagi pegang HP sekarang.” jawab Anggra.
            ”Aku mau SMS apa? SMSnya kayak gimana?” kembali Putri bertanya pada kedua sahabatnya.
            ”Bilang ke dia, ”Maaf kalau ganggu, ini nomor Vidi IX-F kan? Ini Putri anak IX-B.” coba aja SMS dia kayak gitu.” perintah Zevana.
            Putri segera mengambil ponselnya dari dalam sakunya. Ia mengetikkan sebuah pesan singkat seperti apa yang telah dikatakan oleh sahabatnya. Dengan perasaan setengah ragu, ia menekan tombol ”Send” pada layar ponselnya.
Sementara itu, di seberang sana, anak laki-laki itu sedang bersiap-siap akan datangnya bola di kakinya. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia menepi ke pinggir lapangan, kemudian terlihat memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Beberapa detik setelah itu, terlihat ia sedang menekan-nekan keypad ponselnya. Ia hanya terdiam sejenak. Tak disangka, ia melirikkan matanya ke seberang lapangan. Tepat pada ruang kelas IX-B. Hanya lirikan saja, tak ada respon. Masih sama dengan wajahnya yang cuek tak peduli. Setelahnya, ia kembali memasukkan ponselnya pada saku celananya. Kamudian bergegas menyusul teman-temannya yang sedang berebut bola di tengah lapangan.
            ”Tuh kan! Vidi itu cuek! SMSku aja cuma dilirik doang, ngerespon aja gak sama sekali! Maunya apa sih tuh anak?” ucap Putri yang mulai terlihat jengkel.
            ”Emang bener-bener cuek ya tuh anak! Kita samperin sekarang Nggra!” ajak Zevana kepada Anggra yang berdiri di ambang pintu kelas.
            ”Eh jangan! Kalian mau temui dia? Aduh jangan dong, ntar kalian dicuekin.” Putri memohon setengah melas kepada kedua sahabatnya.
            Untuk kesekian kalinya Anggra dan Zevana menuruti Putri untuk tidak menemui Vidi. Namun kali ini, mereka sudah sangat tidak sabar terhadap sikap Vidi yang sangat cuek dan tidak pernah menghargai usaha Putri. Anggra dan Zevana berjalan dengan langkah jengkel menemui Vidi. Mereka tak menghiraukan Putri yang tengah berusaha menghentikan niatnya. Namun mereka sudah terlanjur sampai di lapangan. Dari seberang sana, Putri hanya bisa melihat kedua sahabatnya menemui Vidi. Dengan perasaan yang tak tenang, Putri mengalihkan pandangannya ke arah Rissa yang sedang mengoperasikan laptopnya.
            Sementara itu, Zevana yang sudah tak sabaran ingin menggampar Vidi, segera memanggil nama Vidi di tengah langkahnya.
            ”VIDI!!”
            Tak ada respon. Vidi masih asik bermain bola dengan teman-temannya. Anggra mencoba mempercepat langkahnya dengan berlari kecil ke arah Vidi. Kembali, salah satu dari mereka memanggil nama Vidi. Satu kali, dua kali, tiga kali. Ya! Tak ada respon. Namun yang ke empat kalinya mereka memanggil nama Vidi, sepertinya ada perubahan dari sebelumnya. Tetap seperti di awal, dengan tampang cueknya, Vidi hanya melirik kecil ke arah Zevana dan Anggra.
            ”Eh Vid!! Sini dong!! Punya telinga gak sih? Dipanggil dari tadi gak ada respon! Sombong banget sih!”
            Sepertinya Vidi mendengar kata-kata Zevana. Ia menoleh ke arah Zevana. Dengan tatapan yang masih sama, mata cueknya. Hanya menolehkan kepalanya saja. Setelah itu, ia meninggalkan lapangan bersama teman-temannya.
*****

            Putri masih mengingat kejadian tadi pagi di sekolahnya. Jujur saja, ia merasa amat sangat jengkel dan kecewa pada Vidi. Ternyata orang yang ia kagumi begitu membuatnya sakit hati. Ia tak menyangka seorang Vidi benar-benar cuek dan tidak peduli. Pantas saja, Vidi jarang bergaul dengan teman wanitanya. Ia hanya dekat dengan anak laki-laki. Itu karena sikapnya yang cuek dan sangat dingin terhadap cewek. Termasuk Putri.
            Putri melangkah lesu melewati koridor ruangan kelas di LBB tersebut. Matanya berkedip sayu. Gerakan tubuhnya sangat malas. Ia menaiki satu persatu anak tangga yang sudah menantinya di depan mata. Mungkin butuh waktu satu jam baginya untuk meraih satu anak tangga. Ia pun tak menghiraukan beberapa murid LBB tersebut yang sudah mengantre di belakangnya untuk segera naik ke lantai atas. Putri melirik kicil pada arloji yang melekat di lengannya. ’5 menit lagi’ batinnya sambil bergegas menuju ruang kelasnya. Ia tak yakin apakah ia siap untuk menerima pelajaraan saat itu. Pikirannya kacau. Hatinya galau. Dan yang paling berperan dalam apa yang sedang ia alami saat ini adalah VIDI. Hanya itu yang Putri pikirkan. Walaupun sebenarnya ia tak ingin memikirkannya.
            ”Pinjam HP dong?” pinta Desi, yang duduk bersebelahan dengan Putri.
            Dengan pikirannya yang masih kacau, Putri merogoh isi tasnya dan meraih ponselnya. Dengan malas, ia meletakkan ponselnya di atas meja kursi tempat Desi duduk.
            ”Ini, makasih ya!” ucap Desi sambil menyerahkan ponsel Putri kembali.
            Putri hanya membiarkan ponsel miliknya di atas meja kursi tempat ia duduk. Ia melamun. Tetapi, sesaat kemudian lamunannya terbuyar. Ada yang bergetar. Dan dia merasakannya. ”Dzzzt...dzzzt...dzzzt.” Putri mengarahkan matanya tepat pada ponsel hitam metalik yang sedari tadi terdiam di atas mejanya. Ia meraihnya malas, kemudian matanya benar-benar terbuka lebar sesaat setelah itu.
            ”Hah?? Message delivered to Vidi?? Apa maksudnya ini? Siapa yang barusan ngirim SMS ke dia?”
Putri tercengang akan tulisan yang ada di layar ponselnya. Segera ia membuka menu message, dan melihat sent message list-nya. Ia benar-benar terkejut akan apa yang telah ia saksikan.
”VIDI I LOVE YOU? Apa maksudnya ini? Siapa yang kirim pesan kayak gini ke Vidi? Mampus gue!! Vidi kan tau kalau ini nomor gue, dan tadi berita terkirimnya sudah tersampaikan ke Vidi? GILA!!”
Putri masih dengan pikirannya yang sangat kacau. Masalahnya dengan Vidi belum selesai, namun kini satu masalah bertambah lagi. Ada seseorang yang mengetikkan pesan tersebut untuk Vidi. Dan orang itu adalah...
”DESI!! Kamu ngirim SMS apa ke Vidi?” gertak Putri kepada Desi yang sedang asik dengan ponselnya.
”VIDI I LOVE YOU. Kenapa sih emangnya?” jawab Desi dengan enteng.
”GILA KAMU!! Vidi itu udah tau kalau itu nomor aku! Dan sekarang tiba-tiba kamu kirim SMS kayak gitu ke Vidi? Kamu gak pikir akibatnya ya!” jawab Putri marah.
”Emang kenapa? Kelamaan kamu mendam rasa ke Vidi. Ungkapin aja lah.” terang Desi.
”Iya tapi gak gitu caranya!! Sekarang malah Vidi anggap aku itu gak tau malu. Tiba-tiba kirim SMS kayak gitu. Kenal aja enggak! Vidi anggap aku itu agresif. Kamu gak mikir ya? GILA!” bentak Putri.
”Ya udah terlanjur juga.” lanjut Desi.
”Terus sekarang gimana kalau aku ketemu sama Vidi? Dia pasti beranggapan aku ini cewek yang gak tau malu!” jawab Putri resah.
Namun semuanya sudah terlanjur. Pesan itu sudah tersampaikan ke Vidi. Dan yang pasti, Vidi telah membacanya. Putri belum siap dengan apa balasan Vidi nanti. Ada dua kemungkinan. Yang pertama, apakah Vidi akan menghinanya? Dan yang kedua, atau malah membalasnya dengan ”LOVE YOU TOO.” Tapi pilihan kedua itu sangat tidak mungkin. Yang sangat mungkin terjadi hanyalah pilihan pertama. Namun Putri semakin resah, setelah beberapa jam ia menunggu, belum ada respon dari Vidi.
“Tuh kan!! Tuh anak cuek banget sih! Respon aja enggak!! Harusnya kalau dia itu intens, pasti dia bales message-ku walaupun isinya menghinaku. Aku siap kok! Tapi kenapa gak ada respon? Ahh! Pengen bunuh tuh anak!!”
Malam yang sangat membuat hati Putri galau. Ia belum siap akan hari esok. Ia belum siap jika harus bertemu Vidi. Ia juga belum siap memaafkan Desi. Tak seharusnya Desi berbuat seperti itu. Karena ia sama sekali tak mengerti apa yang tengah Putri rasakan. Tapi, ya sudah terlanjur. Semuanya sudah terjadi. Tak ada yang perlu di sesali, karena tak ada gunanya pula. Bagaimana pun juga, Desi adalah sahabat Putri. Walaupun apa yang telah Desi perbuat sangat membuat hati Putri kacau, namun ia menghargai sahabatnya. Mungkin maksud Desi baik, hanya caranya yang salah.
”Ahh! Kacau!! Galau!! Gak Desi, gak Vidi, sama aja!! Dan yang paling kebangetan itu Vidi!! Cueknya minta digampar!!”
Putri benar-benar emosi malam itu. Perasaannya campur aduk. Rasanya, ia ingin melupakan Vidi dan membalasnya. Putri ingin bersikap dingin dan cuek. Tak peduli terhadap Vidi. Putri benar-benar ingin melupakannya.
”NO VIDI!! Kamu terlalu cuek BOY!! Gak pernah hargai aku!! Mulai sekarang, aku akan jadi anak yang CUEK!! Aku akan balas dendam ke kamu, supaya kamu tau, gimana rasanya DICUEKIN!!”
*****

            ”Haa? Desi kirim SMS kayak gitu ke Vidi? Terus respon si Vidi gimana?”
            “Gak di respon.” jawab Putri cuek.
            “What? Gila tuh anak!! Cuek banget sih!! Harusnya dia itu ngerespon kek, walaupun sebenarnya kamu gak ada niatan buat bilang kayak gitu ke dia. Ya tapi setidaknya ngerespon lah!” ujar Rissa yang ikut emosi.
            “Vidi terlalu cuek!” lanjut Putri.
            “Iya Put, sabar ya sayang, Vidi itu cuek!! Kamu gak pernah di hargai!! Dia itu seperti kasih harapan kosong ke kamu!! Uhh! Ntar aku sama Rissa temui dia ke kelasnya!!” terang Zevana sambil memukul-mukul tangannya di atas bangku.
            ”Gak usah Ze. Biarin.” jawab Putri kembali cuek.
            ”Kok kamu cuek gitu sih Put? Katanya pengen kenal?” tanya Rissa heran.
            ”Itu dulu Ris.” jawabnya dengan tatapan kosong.
            ”Nah sekarang?” tanya Zevana melongo.
            ”Gak.” singkat Putri menjawabnya.
            ”Loh kenapa?”
            ”Aku terlanjur kecewa dan sakit hati karena dia!! Dia gak pernah hargai aku!! Aku mau cuekin dia ganti!! Biar dia tau gimana rasanya dicuekin!! Aku gak mau tau lagi tentang dia!! Aku gak peduli sama dia lagi!! Aku mau jadi anak cuek!!” jelas Putri benar-benar kecewa.
            ”Hah? Kalau kamu cuek, dan Vidi juga cuek kayak gitu, gimana kalian bisa kenal? Keduanya saling cuek gitu.” terang Zevana sambil mengelus pundak sahabatnya itu.
            ”Biarin. Aku gak peduli lagi sama Vidi!!” bentak Putri.
            ”Kamu yakin?” tanya Rissa meyakinkan.
            ”Iya Ris!!”
Sesaat setelah percakapan Putri dengan Rissa dan Zevana, seseorang yang baru saja menjadi topik pembicaraan mereka berjalan dengan segerombolan para pemain futsal lainnya. Putri yang mencoba tetap ingin cuek dan tidak peduli, benar-benar merasakan sakitnya. Vidi melewatinya dengan sangat cuek. Tanpa sedikit pun membalas tatapan Putri. Putri tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Ia masih sangat berharap pada Vidi. Putri tak bisa jika harus menjadi anak yang cuek. Tatapan matanya, tak bisa berbohong, jelas mengungkapkan semuanya. Walaupun Vidi dan gerombolannya sudah semakin jauh, Putri masih saja menatap Vidi dari jauh. Matanya mengikuti langkah Vidi. Hingga akhirnya Vidi tak terlihat lagi. Namun bola mata Putri masih saja mencari-cari.
”Katanya mau cuek?” tanya Zevana.
”Aku gak bisa bohongin perasaanku sendiri. Aku gak munafik, JUJUR aku masih BERHARAP Ze.” ucap Putri kemudian sebutir air menetes dari matanya.
”Perjuangkan cintamu. Kamu gak boleh nyerah Put!” tambah Rissa.
”Tapi gimana caranya? Anak itu terlalu cuek!! Aku yakin dia tau siapa itu Putri. Dia tau kalau aku adalah Putri. Dia tau semuanya. Tapi, sampe segitunya ya dia jadi anak cuek.” jawab Putri lesu.
”Besok, ikut aku ke kelasnya! Kita temui dia! Lama-lama bikin emosi aja tuh anak!!” terang Zevana yang masih emosi.
”Di satu sisi, aku pengen bales cuek ke anak itu. Biar dia tau gimana rasanya dicuekin. Aku gak mau peduli lagi sama dia. Dia udah terlanjur bikin aku kecewa dan sakit hati. Tapi di lain sisi, aku masih berharap sama dia.” jelas Putri semakin memelas.
”Pokoknya besok kamu ikut kita ke kelasnya!! Gak bisa dibiarin tuh anak!! Gua gampar lu!!” terang Rissa yang sudah tak sabaran.
”Oke Ris!! Kita bunuh aja sekalian tuh anak!! Terus mayatnya kita ceburin aja ke sungai depan, biarin dia hanyut dimakan buaya!!” tambah Zevana mendramatisir.
”Kalian apa-apaan sih?” tanya Putri.
”Hahahaha. Udah lah Put, tenang aja.” jawab Rissa tersenyum jail.
*****

            Pagi yang kelabu. Tertutup mendung. Dan bukan hanya mendung, tetapi juga kabut. Jalanan sama sekali tak terlihat. Memaksa para pengendara jalan raya harus menyalakan lampunya. Walaupun waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi.
            ”BRAKK!!”
            Terdengar bunyi denturan yang sangat keras. Apakah itu? Bom? Oh tidak mungkin! Yang jelas dan yang pasti itu adalah suara benda menabrak sesuatu. Dan umumnya, jika cuaca sedang tertutup kabut tebal seperti ini, suara tersebut adalah suara kecelakaan.
            ”Ahh!! Sakit woy!! Kalau nyetir hati-hati ya mas!! Gak lihat apa, kalau ada orang mau nyebrang gini?” jelas gadis tersebut sambil marah-marah.
            ”Salah sendiri gak toleh kiri kanan dulu!!” balas si pengendara motor.
            ”Eh mau kemana kamu? Loh? Kamu??”
            Putri tak melanjutkan kata-katanya setelah ia berhasil menangkap siapa orang yang baru saja menabraknya hingga ia jatuh tersungkur.
            ”Vidi kan??” teriak Putri histeris.
            ”Apa sih? Udah ah telat nih!!”
            Putri tak sempat membalas ucapan Vidi. Motor Revo yang baru saja menabraknya dan baru sedetik yang lalu ada di hadapannya, kini telah lenyap bersama sang pemiliknya. Yang pasti, bukan lenyap seperti magic, melainkan tancap gas tanpa mempedulikan Putri yang masih merintih kesakitan. Tanpa adanya rasa bersalah, atau paling tidak mengucap kata ”maaf” Vidi beserta motornya segera tancap gas. Hmm. Bisa dibilang tabrak lari. Oh tidak tidak! Bukan tabrak lari. Karena Vidi sempat berhenti dan bercakap-cakap sejenak dengan Putri. Lalu lebih tepatnya, tidak bertanggung jawab.
            ”Kebangetan kamu Vid!! Aku kecewa sama kamu!! Aku bener-bener gak mau kenal sama kamu lagi!!”
*****

            ”Kok kamu telat sih Put? Gak kena hukum?” tanya Zevana, teman sebangku Putri.
            ”Ssshh... aku habis kecelakaan. Jadi ya aku gak dihukum, malahan tadi ke UKS bentar. Aduh...” jawab Putri sambil merintih pelan.
            ”Kecelakaan? Kok bisa sih? Siapa yang nabrak kamu? Dimana?” tanya Zevana setengah panik.
            ”Di depan Althea. Pas aku mau nyebrang. Eh ada motor Revo main samber aja!!” jelas Putri yang masih jengkel atas perbuatan Vidi yang tak bertanggung jawab tadi.
            ”Terus? Yang nabrak kamu lari? Tabrak lari gitu? Terus kamu kesini naik apa?” tanya Zevana yang masih kaget.
            ”Tabrak lari sih enggak. Dia sempet berhenti bentar. Bentar banget, tanpa ada rasa bersalah dan tanpa ada kata ”maaf” ke aku, eh langsung ngibrit lagi. Sialan!!” terang Putri.
            ”Emang siapa yang nabrak kamu? Anak SMP?” tanya Zevana beruntun.
            ”Iya Ze. Anak SMP sini kok, satu sekolah sama kita!!” jawab Putri berteka-teki.
            ”Hah? Siapa sih?” tanya Zevana yang semakin penasaran.
            ”Manusia paling CUEK sedunia!! VIDI!!”
            ”Apaaaaa? Vidi? Dia yang nabrak kamu? Dan tanpa bertanggung jawab, dia main ninggalin kamu gitu? Kurang ajar tuh bocah!!” jawab Zevana emosi.
            ”Uhh!! Pengen gua bunuh tuh anak!! Cueknya itu loh, minta digampar!!!” balas Putri yang juga ikut emosi.
            ”Gak usah pake minta Put, ntar gua gampar beneran tuh bocah!!”
*****

            Niatan Zevana untuk menemui Vidi ke kelasnya kali ini benar-benar terjadi. Zevana tak main-main. Ia tidak bisa menerima sahabatnya diperlakukan seperti itu. Vidi yang selalu cuek dan selalu membuat Putri sakit hati serta kecewa. Vidi juga tak pernah menghargai usaha Putri. Ya paling tidak menganggap Putri ada. Tapi Vidi tak pernah menganggap Putri ada. Terlebih lagi, setelah kronologi kecelakaan yang dialami oleh Putri tadi pagi. Membuat Zevana benar-benar ingin menggampar sosok seorang Vidi.
            ”EH LO GAK USAH PURA-PURA GAK DENGER ATAU APA DEH!! SINI LO!! TAU GAK LO ITU NYAKITIN SAHABAT GUE!!”
            Zevana yang baru saja melihat Vidi berdiri di ambang pintu kelasnya, tanpa mempedulikan lingkungan sekitar, Zevana melontarkan kata-kata itu. Tak peduli walaupun banyak pasang mata yang menatap tajam Zevana, maupun Vidi. Di belakang Zevana, terlihat Putri nampak mengekor dengan perasaan malu dan takut.
            “Apa?”
            Kali ini Vidi merespon ucapan Zevana. Tak disangka oleh Zevana maupun oleh Putri sebelumnya. Vidi membalas ucapan Zevana. Ya, walaupun masih tetap sama dengan tampang cueknya dan ketidak peduliannya.
            ”Mau lo apa sih?” ucap Zevana balik bertanya.
            “Justru gue yang tanya, mau lo apa datang ke kelas gue marah-marah gak jelas?” jawab Vidi dengan tampang tanpa dosa.
            “Gak usah pura-pura gak ngerti deh. Lo itu jadi anak jangan cuek gitu dong!! Lo itu sombong!! Gak mau punya temen!! Lo gak pernah hargai sahabat gue!!” jelas Zevana sambil menarik tangan Putri.
            Vidi tak membalas perkataan Zevana. Ia hanya menatap tajam Zevana, dan sesekali memusatkan pandangannya ke arah Putri. Sehingga membuat Putri mengalihkan pandangannya.
            “Temen gue pengen jadi temen lo!! Tapi lo gak pernah hargai usahanya dia buat jadi temen lo!! Lo cuek dan gak peduli gitu sama dia!! Mau lo apa sih?” gertak Zevana.
            Vidi masih terdiam. Sama sekali tak membalas gertakan Zevana. Ya, mungkin dia merasa bersalah. Mungkin.
            “Lo gak bisa jawab pertanyaan gue? Sekarang, lo minta maaf ke Putri!! Putri yang selama ini udah lo cuekin!! Lo sama sekali gak pernah hargai dia!! Padahal niat dia tulus pengen jadi temen lo!! Lo udah bikin dia sakit hati dan kecewa!! Sekarang lo harus minta maaf ke Putri!!” perintah Zevana sambil menyeret Putri untuk maju di hadapan Vidi.
            ”Sorry, gue gak kenal sama kalian. Dan buat apa gue harus minta maaf padahal masalahnya gak penting buat gue!!” balas Vidi, namun sukses membuat Putri meneteskan sebutir air dari matanya.
            ”Eh lo itu...”
            Zevana belum melanjutkan kata-katanya. Karena Putri  mencegahnya. Putri yang sedari tadi hanya mematung menyaksikan perdebatan antara Vidi dengan sahabatnya, kini ia pun mulai membuka bibirnya, dan angkat bicara.
            ”Sorry kalo kedatangan kita ganggu kamu. Kita gak ada maksud apa-apa kok. Cuma pengen bilang ke kamu, kalo aku pengen jadi temenmu. Setiap orang itu pengen punya banyak temen. Mereka pengen punya temen yang banyak. Cari temen itu sulit, gak semudah yang kamu pikirkan. Karena gak semua orang mau berteman sama kamu kalo sikapmu kayak gitu. Tapi disini ada satu anak, yang pengen banget jadi temenmu. Tapi gak bisa ya. Kasihan banget anak ini. Kamu gak pernah anggap dia temenmu. Percuma usahanya selama ini buat jadi temenmu. Toh akhirnya kamu acuhkan dia dan gak pernah hargai dia. Masih banyak kok, orang lain yang membutuhkan teman, setiap orang pengen punya banyak temen. Gak kayak kamu yang gak butuh temen!! Sorry, kalo kita ganggu kamu.” jelas Putri panjang lebar, dan segera menarik Zevana untuk beranjak dari tempat itu. Namun sukses membuat Vidi terpaku tanpa kata atas ucapan Putri.
*****

            Rasa perih itu semakin terasa. Semakin merah, semakin perih. Namun tetap dilanjutkannya. Ia tak peduli dengan lengannya yang sudah memerah darah. Tangan kanannya masih saja memaksanya untuk menggoreskan potongan kaca itu ke lengannya. Walaupun sebenarnya ia sudah tak kuat, namun masih tetap ia lakukan. Setelah ukiran tersebut benar-benar terbaca jelas di lengannya, ia baru tersenyum puas. Walaupun menahan rasa sakit dan perih yang amat sangat luar biasa.
            ”VIDI.”
            Ucapnya lirih, kemudian beranjak dari tempatnya dan mengambil selembar tisu. Secara perlahan, diusapnya tisu tersebut pada lengannya yang tercecer darah. Warna tisu yang awalnya putih bersih tanpa noda, kini bercorak bercak-bercak merah darah. Namun ia merasa sangat puas dengan apa yang telah ia lakukan. Ia mengukir nama ”VIDI” di lengan tangan kirinya dengan menggunakan sebilah kaca.
*****

            Ia tetap melewatinya. Walaupun ada rasa getir dihatinya. Namun ia tetap menjalankan niatnya. Tepat di sudut matanya, sebuah lirikan tajam serta licik ia tujukan pada orang yang baru saja ia lewati. Ia tak peduli lagi siapa orang itu. Ia tetap menikmati langkahnya. Menuju suatu ruangan kelas yang terletak paling ujung dari sekolah tersebut. Namun belum sampai ia menuju ruang kelas tersebut, matanya menangkap sebuah drama. Mungkin drama yang sangat asik untuk dinikmati. Di sebelah kanan jalan, walaupun ia tak ingin melihatnya, karena begitu sakit rasanya. Namun sudah terlanjur ia memotret kejadian itu. Mungkin hanya rasa cemburu dan kecewa yang bisa mengungkapkan perasaannya saat itu. Tak hanya itu, tetapi ia juga sakit hati. Untuk apa? Karena apa? Ya! Karena Vidi terlihat sedang beradegan manis di hadapan seorang wanita. Dengan gayanya yang sebenarnya bisa membuat Putri terkagum-kagum padanya. Namun itu dulu. Kini Putri tak lagi menjadi pengagumnya. Ia tetap cuek, dengan apa yang telah disaksikannya. Vidi mengungkapkan perasaannya kepada seorang anak perempuan yang pastinya teman sekelas Vidi. Dan yang jelas, dari ucapan dan gaya Vidi, ia nampak serius akan adegannya. Bahkan tak mempedulikan Putri yang terlanjur memotret peristiwa tersebut. Hanya lirikan cuek yang selalu Vidi suguhkan setiap ia bertemu dengan Putri.
            ”Dari mana Put?”
            ”Kelas belakang.” jawabnya singkat.
            ”Ngapain? Nemui Vidi?” tanya Anggra heran.
            ”Kurang kerjaan apa.” balas Putri melengos.
            ”Ih masa’ sih? Cuek nih sekarang?” goda Anggra.
            ”Aku gak mau tau lagi siapa itu Vidi.” terang Putri bersungguh-sungguh.
            ”Oh, berarti kamu tau dong, Vidi mau nembak siapa?” tanya Anggra kembali.
            ”Ya.” jawab Putri dengan perasaan setengah cemburu.
            ”Terus kamu gimana?” lanjut Anggra.
            ”Cuek aja.” jawabnya cuek.
            ”Gak cemburu?” kembali, Anggra menggoda sahabatnya itu.
            ”Gak.” ucap Putri serius.
            ”Siapa sih, yang ditembak sama Vidi?” tanya Anggra tak tahu.
            ”Vero.” ucapnya lesu.
            ”Oh, terus di terima gak si Vidi?” balas Anggra.
            “Gak tau dan gak mau tau.” jawab Putri mulai terlihat jengkel.
            ”Oh, kok kamu jadi cuek gitu sih?” ujar Anggra heran.
            ”Penting ya buat kamu?” respon Putri kemudian beranjak dari tempatnya dan meninggalkan Anggra sendiri di bangkunya.
*****

            Ia berubah. Benar-benar berubah. Entah karena apa. Mungkin karena Vidi. Ya, mungkin saja. Ia tak seperti dulu lagi. Ia terlihat sangat cuek. Bukan sosok yang dulu lagi. Tak ada tawa dalam wajahnya. Tak ada senyum manisnya lagi yang selalu menghiasi di tiap sudut pipinya. Tak ada sinarnya lagi. Sepertinya ia telah padam. Benar-benar padam. Tak terlihat lagi canda tawanya. Ia lebih suka sendiri. Tak lagi berguarau bersama kawan-kawannya. Ia melewatkan masa-masa akhir di SMP tersebut dengan bayangnya sendiri. Ia sudah tertutup. Tertutup oleh siapa pun. Hatinya tak seperti dulu lagi. Bahkan rasanya, ia sudah tak membutuhkan siapa pun dalam hidupnya. Ia hanya ingin sendiri. Dan yang telah membuatnya begini, adalah VIDI.
*****

            “Eh Ze! Tunggu!” teriak suara laki-laki dari belakang.
            “Ngapain sih? Belum puas ya, udah bikin sahabat aku jadi kayak gitu?” Zevana memalingkan wajahnya yang terlihat marah.
            “Emang Putri kenapa?” tanya laki-laki itu tak mengerti.
            “Dia sekarang itu tertutup, cuek, maunya sendiri terus. Dia beda sama Putri yang dulu. Itu semua gara-gara kamu.” jelas Zevana resah.
            “Kenapa harus aku?” kembali, laki-laki itu belum mengerti akan penjelasan Zevana.
            “Ya! Karena cintanya dia buat kamu! Dan kamu gak pernah hargai dia! Selalu bikin dia kecewa dan sakit hati! Dia gak minta cintanya kamu balas, dia cuma ingin jadi temanmu, eh tapi kamu gak hargai usaha dia dan malah menghina dia!” terang Zevana nampak jengkel.
            ”Maaf.” jawabnya singkat.
            ”Maaf? Cuma itu? Percuma, dan gak bakal bisa balikin Putri jadi kayak dulu lagi!!” balas Zevana tak puas.
            ”Aku bisa.” Ujarnya.
            ”Udahlah, urus aja si Vero!! Gak usah sok ikut campur deh!!” gertak Zevana.
            ”Vero? Apa hubungannya?” tanya-nya seakan tak mengerti.
            ”Kamu nembak dia kan?” tanya Zevana penuh emosi.
            ”Iya. Tapi dia tolak aku.” jawabnya lesu.
            ”Oh. Bagus deh.  Kayaknya kamu emang pantas dapet itu. Biar kamu tau, gimana rasanya jadi Putri. Biar kamu tau, apa yang Putri rasa selama ini!!” balas Zevana dengan mata tajamnya.
            ”Dan sekarang aku mau minta maaf ke Putri.” ujarnya dengan santai.
            ”Percuma, Putri bukan yang dulu lagi. Dia gak akan membuka hatinya lagi. Dia udah tertutup.” jelas Zevana mulai gelisah.
            ”Oh, padahal aku ingin minta maaf. Tapi kalau dia kayak gitu, mending aku cari yang lain lagi aja deh.” balasnya, namun sukses membuat Zevana semakin naik darah.
            ”Belum puas ya lo?” gertak Zevana.
            ”Maksud kamu?” balasnya sok cuek.
            ”Kamu emang gak pernah tulus sama Putri. Bahkan maafmu itu sama sekali gak tulus!!”
            ”Aku tulus kok, tapi Putri kayak gitu, percuma.” balasnya dengan malas.
            ”Usaha kek!! Putri aja usahanya sampai kayak gitu biar bisa jadi temanmu. Walaupun akhirnya tetap gak bisa! Dan kamu gak pernah hargai dia!! Kamu udah bikin dia kayak gitu, sekarang kamu gak ada usaha buat minta maaf ke dia. Bahkan kamu mau cari yang lain? Kebangetan lo!!”
            ”Karena hatiku buat yang lain, bukan buat Putri.” jelasnya dengan lantang.
            ”Udahlah, enek gue liat muka lo!!”
*****
           
Lihat ku disini...
            Kau buat ku menangis...
            Ku ingin menyerah...
            Tapi tak menyerah...
            Ku coba lupakan...
            Tapi ku bertahan...
            Kau terindah kan slalu terindah...
            Aku bisa apa tuk memilikimu...
            Kau terindah kan slalu terindah...
            Harus bagaimana ku mengungkapkannya...
            KAU PEMILIK HATIKU...
            Lagu Pemilik Hatimu milik Armada terlantun pelan dari ponsel hitam metalik di atas bangku tersebut. Di sampingnya, duduk seorang gadis yang tengah di selimuti oleh perasaan galau dan gundah. Ia hanya bisa mendengarkan sajak demi sajak dari lagu tersebut. Dengan perasaan yang sangat menghayati, air matanya mulai berjatuhan. Ia memejamkan matanya, dan berharap bahwa seseorang yang di nantinya akan datang menghampirinya. Namun itu tidak mungkin. Hanya angan-angannya saja. Lagipula, ia tak mau lagi berurusan dengan sosok yang namanya VIDI. Membuatnya akan lebih sakit hati dan kecewa jika ia masih menyimpan rasa terhadap Vidi.
*****

            ”Maaf. Aku mungkin salah sama kamu. Tapi niatku tulus hanya ingin menjadi temanmu. Namun kamu tak pernah hargai aku. Sedikit saja tentang usahaku. Bahkan kamu menolakku untuk menjadi temanmu. Jujur, aku kecewa dan sakit hati. Kau tak mengerti apa yang tengah ku rasakan kini. Dan kau pun takkan pernah sadari betapa ku mengagumimu. Mungkin lewat lembaran ini, ku ingin kau tahu, AKU TERLANJUR CINTA KEPADAMU. Terima kasih karena kau pernah menghiasi hatiku. Terima kasih kau telah hadir dalam hidupku. Walaupun aku tak pernah bisa memilikimu. Aku sudah memaafkanmu. Berbahagialah dengan orang yang engkau cintai. Tapi satu hal, kau tak akan pernah bisa menjumpai impianmu, jika kamu terus saja begitu. Menjadi anak yang cuek, serta angkuh. Percayalah, kamu bisa jadi yang lebih baik dari sekarang. Selamat tinggal VIDI. Ini untukmu,
            Mungkin lewat mimpi...
            Ku bisa tuk memberi...
            Ku ingin bahagia...
            Tapi tak bahagia...
            Ku ingin di cinta...
            Tapi tak di cinta...
            Kau terindah kan slalu terindah...
            Aku bisa apa tuk memilikimu...
            Kau terindah kan slalu terindah...
            Harus bagaimana ku mengungkapkannya...
            KAU PEMILIK HATIKU...
            Terima kasih, dan maaf.”
*****

            Setelah surat itu, tiada yang tahu kemana Putri. Hanya itulah kalimat terakhir Putri. Entah dimana dia sekarang. Mungkin dia sudah menemukan hidupnya yang baru. Tanpa rasa kecewa, dan sakit hati. Biarlah, kenangan itu menjadi kenangan terburuk baginya. Semoga ia mendapati apa yang ia inginkan. Sebab, kisahku sama dengan kisahnya. Karena PUTRI adalah AKU!!
*****

THE END

No comments: