March 08, 2012

*Cerpen- DIARY DALAM PETAK UMPET


          “Aku bakalan rindu kamu. Kangen banget sama kamu. Kamu cepet sembuh ya. Aku selalu berdo’a untukmu. Every thing is gonna be okey!!” jelasku sambil memeluk erat sahabatku yang lemah tak berdaya.
            ”Thanks kawan. Aku juga bakalan kangen sama kamu. Aku akan pulang kok. Aku pasti sembuh. Dan kita bisa main petak umpet lagi. Terima kasih untuk support dan dukungan kamu selama ini.” Wanda tersenyum kepada ku. Memelukku dengan sangat lepas. Seakan dunia ini hanyalah milikku dan juga milik Wanda.
            Dengan keadaan tubuhnya yang bersandar pada kursi roda, ia masih menatapku dalam-dalam. Melihatku menangis dan menyaksikan suasana yang sangat haru biru. Ia menggenggam tanganku dan menyebut namaku untuk yang terakhir kalinya.
*****
            Air mataku perlahan dan perlahan membasahi pipiku. Aku menatap bingkai foto yang sangat indah, sangat mewah, dan sangat besar. Ku arahkan bola mataku ke dalam bingkai foto tersebut. Kembali aku meneteskan air mataku. Dua bocah berseragam putih merah sedang tertawa lepas disana. Dengan senyuman Wanda yang begitu menawan, dengan tas kembar berwarna merah polkadot yang tergantung di pundakku dan Wanda. Dengan gaya khas sosok Wanda, lidahnya terjulur keluar dan matanya menyipit sambil jari tangannya membentuk huruf ”V”. Aku masih ingat dengan jelas, kapan terakhir kali aku bertemu dengan Wanda, melihat senyumnya, melihat tawanya, memandangi wajahnya yang lucu saat berpose pada kamera. Ku harap Wanda takkan pernah melupakanku.
            ”Sudah berapa tahun ya? Tiga tahun yang lalu. Terakhir kali aku berfoto dengan Wanda, aku masih memakai seragam putih merah. Tapi sekarang mungkin jika aku berfoto kembali dengan Wanda, warna putih biru yang mendominan di seragamku. Sayang ya, aku belum bisa foto dengan seragam putih biru bersama Wanda.” ujarku sambil menatap foto Wanda yang tergantung di dinding kamarku.
            ”Wanda bilang, ia akan pulang. Tapi kenapa tidak hingga saat ini? Apa Wanda masih hidup? Apa operasinya berhasil? Apa dia masih ingat denganku? Entahlah, yang jelas aku sangat merindukannya.” gumamku penuh harapan.
            Aku tak pernah berkomunikasi lagi dengan Wanda semenjak ia pergi ke Australia, untuk melancarkan operasinya. Memang, Wanda mengalami kelumpuhan pada kakinya akibat kecelakaan. Dan ia terpaksa harus di operasi di Australia agar bisa berjalan kembali. Aku yakin Wanda pasti sudah mempunyai banyak teman disana. Dan aku yakin, Wanda pasti sedang asik bermain petak umpet disana. Ah itu pun kalau memang disana ada permainan petak umpet. Permainan yang sangat menjadi pelengkap hidupku dan Wanda. Tetapi semenjak keadaan Wanda yang tidak memungkinkan untuk bermain petak umpet, aku tak bisa bermain petak umpet lagi. Sampai saat ini. Yang aku inginkan, Wanda kembali pulang dan berdiri tegak di hadapanku sekarang. Yang aku harapkan, aku bisa kembali bermain petak umpet bersama Wanda.
*****
            ”Eh sekolah kita mau kedatangan bule loh!!” terang Rima, teman sebangku-ku.
            ”Bule? Maksud kamu?” tanyaku tak mengerti.
            ”Besok ada anak baru di sekolah kita. Denger-denger sih, anak baru itu dari Australia. Apa namanya kalau bukan bule coba?” jelas Rima berseri-seri.
            ”Oh gitu. Kok kamu kayaknya seneng banget sih. Ada apa?” aku sedikit memiringkan posisi duduk-ku agar bisa menatap Rima dengan jelas.
            ”Siapa yang gak seneng sih? Sekolah kita mau kedatangan bule Nis!!” ujar Rima sambil memukul-mukul bangku.
            ”Haha, heran deh. Iya kalau yang dateng Justin Bieber baru aku ikutan seneng. Orang cuma bule doang. Ya sudah lah, lihat saja besok.” ucapku memperjelas keherananku.
*****
            ”....besok ada anak baru di sekolah kita. Denger-denger sih, anak baru itu dari Australia. Apa namanya kalau bukan bule coba?....”
            Kata-kata Rima tadi pagi masih terngiang jelas di benakku. Membuatku kembali berpikir, apakah mungkin itu Wanda? Tetapi fikirku kembali teringat. Wanda pasti memberiku kabar jika ia akan pulang ke Indonesia. Nyatanya tidak sampai saat ini. Mungkin itu orang lain. Memangnya hanya Wanda yang bertempat tinggal di Australia? Tidak. Namun mengapa yang muncul di otakku hanyalah Wanda? Sedangkan sampai saat ini aku tak tahu dimana keberadaannya. Mungkin aku hanya bisa sebatas berharap jika bule yang dimaksud oleh Rima ialah Wanda. Hanya harapan yang bisa menjadi alasanku.
*****
            ”Wow!! Itu bulenya? Perasaan wajah-wajah orang Indonesia deh? Dari mana bulenya? Hidungnya aja kali yang mancung, tapi dia cantik juga. Gak salah juga sih kalau di panggil bule. Hahahaha”
            Aku mendengar beberapa deret kalimat yang di lontarkan oleh temanku. Segera aku tersadar dari bayang semu-ku. Beranjak dari kursi-ku, dan segera melangkahkan kaki-ku keluar kelas. Aku melongo. Sungguh tak percaya. Apa yang aku lihat dan ku saksikan di hadapanku. Seorang gadis seumuran denganku berkulit putih, dengan senyum yang manis dan hidungnya yang mancung serta rambutnya yang bergelombang. Ia berjalan dengan lagaknya yang sombong melewatiku, terus berjalan ke arah kelas belakang. Tetapi sebelum ia semakin terlihat kecil dari pandanganku, aku tak tersadar melontarkan kata yang seharusnya ku simpan terlebih dahulu.
            ”WANDA!!”
            Sepertinya ia mendengar teriakanku. Langkahnya terhenti sejenak. Ia mencari sumber suara yang menyebutkan namanya. Kemudian ia membalikkan tubuhnya, menggerak-gerakkan bola matanya. Aku tersadar, ia pasti mencari suara siapa yang telah menyebutkan namanya. Sesegera aku menghampirinya.
            ”Kamu Wanda kan? Wanda Shanindya? Kamu ingat aku? Niswa Fitri Adinda. Kamu sahabatku dulu kan?” aku tak memperdulikan tatapan-tatapan mata yang tengah menyaksikan dialog-ku. Aku hanya berharap, sosok yang kini berada di hadapanku adalah WANDA.
            ”Iya, gue Wanda. Sorry gue gak kenal sama elo. Lo siapa ya? Niswa Fitri.... Fitri siapa tadi? Maaf ya gue gak kenal elo. Temen gue gak ada yang modelnya kayak elo!!”
            Banyak tawa-tawa kecil di sekelilingku. Aku tahu, semuanya tertawa. Mungkin mereka menganggapku sok kenal dengan anak baru yang disebut-sebut bule itu. Aku tak bisa menjelaskan bagaimana rasanya hatiku saat mendengar respon dari Wanda. Ia tak mengenalku? Bagaimana mungkin? Sedangkan aku masih mengenalnya dengan jelas. Aku yakin Wanda si bule ialah sosok Wanda sahabat SD-ku. Entah penyakit apa yang hinggap pada dirinya sehingga dia bisa melupakanku. Amnesia mungkin. Ya, mungkin saja.
*****
            Pertemuanku dengan Wanda menjadi hari terakhirku hadir di sekolah sampai detik ini. Beberapa hari, aku terpaksa harus absen dari kelas dan terpaksa pindah hotel, alias rawat inap di rumah sakit. Entah siapa yang mengundang penyakitku kembali. Yang jelas, penyakit itu datang lagi. Tiada yang menginginkan. Bahkan aku pun tak ingin sekali menyebutnya sebagai penyakit. Sungguh mengerikan.
            Ponselku bergetar. Perlahan ku raih ponsel silver itu dari meja. Menampilkan pop out bertuliskan:
            From: Rima
            Nis, si Wanda bule itu nyariin kamu. Dia pengen ketemu sama kamu!!
            Aku terkejut melihat isi pesan singkat dari Rima. Untuk apa Wanda mencariku? Bukankah dia tidak mengenalku? Bukankah aku bukan sahabatnya? Bukankah selama ini dugaanku salah? Aku terlanjur sakit hati mendengar perkataan Wanda beberapa hari yang lalu. Dengan sombongnya ia berkata, ”....temen gue gak ada yang modelnya kayak elo!!....” Jadi untuk apa aku masih berharap dia adalah sahabatku? Tak ada gunanya lagi. Tak penting pula untukku. Dengan sigap aku membalas pesan singkat Rima.
            To: Rima
            Aku males ketemu dia!! Bilangin aja ke dia, aku gak mau ketemu dia!!
*****
Penyakitku semakin parah. Kondisiku semakin memburuk. Bahkan aku pun tak ingat jika hari ini adalah hari Rabu. Aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan. Aku tak tahu apakah mungkin aku masih bisa bermain petak umpet lagi dengan sahabat kecilku. Dan aku pun tak tahu apakah aku masih bisa mendengar Wanda memanggilku, menyebut namaku, serta tertawa kecil kepadaku. Terakhir yang aku ingat, Wanda bukanlah seorang sahabatku. Dia tak mengenalku!!
*****
            ”....AIDS yang menggerogoti tubuh anak bapak sudah sangat parah. Anak bapak hanya bisa bertahan antara dua sampai tiga minggu ke depan. Tepat atau tidaknya diagnosa saya, semuanya kembali pada yang Maha Kuasa....”
            Hatiku menjerit mendengarkan kata-kata itu. Sesingkat inikah hidupku? Seburuk inikah nasibku? Aku masih sangat ingin bermain petak umpet untuk yang terakhir kalinya bersama Wanda. Sebelum aku pergi dan takkan pernah kembali.
            ”Niswa maafkan aku!!” aku mendengar isak tangis seseorang dari balik pintu.
            ”Wanda? Ngapain kamu kesini?” ujarku dengan lemah.
            ”Waktu itu aku khilaf. Aku malu menganggapmu sahabatku di hadapan teman-teman. Karena yang mereka tahu aku adalah bule, tak mungkin aku berteman denganmu. Tapi itu benar-benar penyesalanku. Aku menyesal sudah mengatakan kata-kata itu ke kamu. Maafkan aku Niswa. Aku Wanda, Wanda Shanindya, sahabat kecilmu!!” terang Wanda sambil menggenggam tanganku.
            ”Kau begitu sangat sigap Wan. Operasimu pasti berhasil. Kau pun bisa berjalan lagi Wan. Saat kamu lumpuh, apa aku malu menjadi sahabatmu? Tidak Wan!! Tapi kenapa kamu harus malu Wan? Aku sahabatmu!! Sudah lama aku menantimu!! Tapi saat kau datang, kau malah menghinaku, mempermalukan aku!! Apakah itu yang namanya sahabat?” terang saja, aku masih menyimpan rasa marah terhadap Wanda. Ku ungkapkan semua beban yang selama ini ku pendam.
            ”Aku benar-benar menyesal. Aku ingin minta maaf. Sebelum terlambat Nis, aku tak sengaja mendengar percakapan dokter dengan ayahmu tadi. Apa benar yang dikatakan oleh dokter itu?” Wanda memejamkan matanya sambil menangis tersedu-sedu.
            ”Iya!! Aku mengidap penyakit itu!! AIDS!! Dan sebentar lagi aku akan MATI!!” aku menekankan kata-kataku tepat pada kata ”MATI”.
            ”Niswa kamu gak boleh ngomong gitu!! Aku sayang kamu!! Maafin aku. Aku janji, bakal nurutin semua permintaan kamu, asalkan kamu bisa maafin aku Nis.” terlihat dengan jelas raut muka Wanda yang begitu penuh penyesalan dan rasa bersalah.
            ”Sahabat, aku juga sayang kamu. Aku gak akan minta apa-apa sama kamu. Aku hanya ingin kamu menjadi sahabatku SELAMANYA. Walaupun aku telah tiada. Tetaplah disini, menemani detik-detik terakhirku. Sebelum aku pergi, aku ingin bermain petak umpet untuk yang terakhir kalinya bersamamu.”
*****
            Permainan petak umpet yang membuka kisahku, mengawali ceritaku bersama Wanda. Permainan ini pula yang menutup kisahku, mengakhiri ceritaku bersama Wanda. Untuk terakhir kalinya aku menatap dunia fana ini, untuk terakhir kalinya aku menyebut nama Wanda, memanggilnya, berfoto dengannya, dan bermain petak umpet dengannya. Setelah itu, tiada yang tahu. Yang aku masih ingat dengan jelas, kebersamaanku dengan Wanda, adalah saat-saat terakhir yang sangat memilukan. Meski aku telah meninggalkan dunia fana ini, aku masih hidup dalam hati Wanda. Masih hidup dalam kalbunya. Semoga kau tetap mengingatku SAHABAT. Semua ceritaku, kisahku, diary-ku, tergambar jelas dalam permainan itu. DIARY DALAM PETAK UMPET.

*****

No comments: